Jumat, 16 November 2007

CALON INDEPENDEN DALAM PILKADA SUMUT, MUNGKINKAH ?

CALON INDEPENDEN DALAM PILKADA SUMUT, MUNGKINKAH ?
Oleh : P. Erianto Hasibuan


NAD telah membuktikan lewat PILKADA bahwa mereka memiliki GUBERNUR yang mereka pilih secara langsung dan tidak mewakili partai manapun, alias dari calon Indipenden. DKI Jakarta juga telah memberikan bukti bahwa calon Independen mereka kandas dalam tahapan pendaftaran calon. Bagaimana dengan SUMUT, akankah pada PILKADA tahun 2008 kita akan melihat adanya calon Indipenden yang bertarung dalam PILKADA ?

Dasar Hukum PILKADA
Sesuai dengan undang-undang no. 32 tahun 2004 untuk Pemerintah daerah sebagaimana telah diubah dgn undang-undang no. 8 tahun 2005 tentang penetapan peraturan pemerintah pengganti undang-undang no. 3 tahun 2005 tentang perubahan atas undang-undang no. 32 tahun 2004 tentang pemerintah daerah menjadi undang-undang dan peraturan no. 6 tahun 2005 tentang pemilihan, pengesahan, pengangkatan dan pemberhentian kepala daerah dan wakil kepala daerah sebagaimana telah diubah dengan peraturan pemerintah no. 17 tahun 2005 tentang perubahan atas peraturan pemerintah no. 6 tahun 2006 tentang pemilihan, pengesahan, pengangkatan dan pemberhentian kepala daerah dan wakil kepala daerah.
Peserta pemilihan adalah pasangan yang diusahakan oleh Partai Politik atau gabungan parpol yang memenuhi persyaratan perolehan sekurang-kurangnya 15 % jumlah kursi di DPRD atau 15 % dari akumulasi perolehan suara sah dalam pemilihan anggota DPRD di daerah yang bersangkutan.
Dalam hal ini Partai Politik atau Gabungan Partai Politik dalam mengusulkan pasangan calon sekurang-kurangnya 15 % jumlah kursi DPRD apabila hasil bagi jumlah kursi menghasilkan angka pecahan maka perolehan 15 % dari jumlah kursi dihitung dengan pembulatan ke atas.
Selanjutnya di dalam melakukan penelitian persyaratan pasangan calon diminta kepada KPUD untuk selalu independen dan memberlakukan semua pasangan calon secara adil dan setara serta berkoordinasi dengan instansi teknis seperti Diknas apabila ijazah diragukan. Begitu juga apabila terjadi pencalonan ganda oleh partai politik agar dikonsultasikan dengan pengurus tingkat lebih atas partai politik yang bersangkutan.

Belajar dari DKI Jakarta
Untuk saat ini kita baru dapat belajar dari DKI Jakarta perihal pelaksanaan PILKADA yang memunculkan calon independen. NAD sekalipun memiliki Gubernur yang berasal dari calon independen tetapi itu semua dapat terjadi sebagai buah dari hasil Nota Kesepahaman Helsinki yang menyiratkan kemungkinan calon independen dalam pemiliha Gubernur.
Kandidat yang akan bertarung dalam PILKADA DKI sudah dimunculkan jauh-jauh hari sebelumnya, bahkan beberapa Parpol telah melakukan Polling untuk memilih Kandidat yang paling diminati oleh masyarakat Jakarta, tidak ketinggalan media cetak dan media elektronik juga melakukan Polling yang bertujuan untuk mengetahui opini masyarakat Jakarta akan kandidat yang paling diminati. Sekalipun ada wacana calon dari Independen, tetapi hal itu hanya dilakukan secara ”sambil lalu” hal ini mungkin sekali karena perhitungan para kandidat masih optimis untuk mendapatkan dukungan dari berbagai parpol, sebab hasil Pemilu 2004, kecuali Partai Keadilan Sejahtera (PKS) yang meraih suara 23,3% dan Partai Demokrat yang meraih suara 20,1%, tidak ada satu partaipun yang memenuhi kuota minimal 15% untuk dapat mengajukan kandidat. PDIP sekalipun hanya meraih 13,5%, sehingga masih membutuhkan suara dari partai lain untuk dapat mengajukan kandidat.
Kandidat untuk calon Gubernur DKI yang beredar hangat tercatat setidaknya ada 4 pasang, Fauzi Bowo/Prijanto, Adang Daradjatun/Dani Anwar, Sarwono Kusumaatmadja/Jeffrie Geovani, Agum Gumelar/Didik J Rachbini dan Faisal Basri. Dari keempat kandidat tersebut hanya ada 2 kandidat yang memiliki dukungan yang tetap solid hingga akhirnya mendaftarkan diri secara resmi ke KPUD yaitu pasangan Adang Daradjatun/Dani Anwar (PKS) dan Fauzi Bowo/Prijanto (Gabungan Partai), sedang kandidat lain masih bergulat dengan tawar menawar dengan para petinggi Parpol, yang pada akhirnya menuai ketidaksepakatan, dan berbuntut pada pecahnya ”koalisi” untuk membawa kandidat mereka dalam pertarungan calon Gubernur DKI.
Perpecahan tersebut telah memunculkan kembali secara intensif wacana diperbolehkannya calon independen untuk mengukuti PILKADA DKI, langkah yang dilakukan oleh kubu Sarwono Kusumaatmadja/Jeffrie Geovani adalah dengan mengajukan uji materi ke Mahkamah Konstitusi. Hingga batas akhir pendaftaran calon ditutup, putusan Mahkamah Konstitusi belum juga turun. Bahkan menurut Ketua MK Jimly Assiddiqie (Kompas, 120607) keputusan tersebut baru akan dikeluaran pekan ke tiga bulan Juni 2007 dan keputusan tersebut tidak berlaku surut. Dari pernyataan tersebut dapat dipastikan, apapun keputusan yang diambil oleh MK jelas tidak akan mempengaruhi komposisi kandidat yang akan bertarung pada PILKADA DKI Jakarta pada Agustus 2007 nanti.
Beragam reaksi atas kondisi yang terjadi pada kandidat yang akan bertarung di PILKADA DKI sebagian besar menyayangkan tidak terakomodasinya calon dari independen untuk bertarung dalam PILKADA DKI, dan minimnya calon yang berlaga sangat disayangkan karena akan memberikan dampak pada kurang bergairahnya minat masyarakat untuk berpartisipasi dalam Pilkada tersebut. Bahkan Andrinof A. Chaniago Dosen Universitas Indonesia memberi usulan bahwa batas yang kira-kira tepat adalah minimal 15 persen suara sah dan minimal terdiri atas gabungan dua parpol. Batas maksimalnya, suara sah gabungan tidak lebih dari 30 persen dan maksimal jumlah parpol yang bergabung tidak lebih dari lima parpol. (Kompas, 120607). Usulan ini tentu untuk mencegah terjadinya kandidat yang minim seperti yang terjadi pada PILKADA DKI saat ini.

Calon Independen Pada Pilkada SUMUT
Sumatera Utara kerap dikatakan sebagai salah satu barometer perkembangan politik nasional, setelah Jakarta yang oleh sementara kalangan, dikatakan dihuni oleh para kalangan ”terdidik” dan memiliki kesadaran politik yang ”lebih tinggi” bila dibandingkan dengan daerah lain di tanah air, gagal menjadikan contoh dalam mendobrak ”dominasi”parpol, kini Sumatera Utara menjadi lirikan para pengamat politik. Pertanyaan besar adalah ”Mungkinkah SUMUT ”?
Berdasarkan komposisi kursi di DPRD Sumut hasil Pemilu 2004 menunjukkan bahwa hanya ada dua partai yang dapat mengajukan kandidat secara langsung yaitu Partai Golkar 19 kursi dan PDIP dengan 13 kursi, berdasarkan ketentuan 15 persen perolehan kursi di DPRD Sumatera Utara harus lebih dari 12 kursi. Dengan demikian partai-partai lain harus menggabungkan diri untuk dapat mengajukan kandidat bersama. Peluang mengajukan kandidat bersama tentu jauh lebih sulit dibandingkan dengan pengajuan tunggal. Artinya para kandidat yang telah melakukan deal dengan gabungan partai selain kedua partai terdahulu (Golkar dan PDIP) tentu akan berada pada posisi sama dengan apa yang dihadapi oleh Sarwono/Jeffrie dalam Pilkada DKI Jakarta, yaitu rawan terhadap perubahan sikap dari salah satu partai pendukung.
Kalkulasi di atas mungkin akan menjadi pertimbangan bagi para kandidat untuk menempuh jalur independen, sekalipun peluangnya masih kabur, tetapi bukan sesuatu yang mustahil bila dilakukan sejak awal dan terorganisir dengan baik.
Pewacanaan kandidat independen sejak awal sudah barang tentu juga menjadi ”kampanye awal” untuk melakukan pengujian tingkat penerimaan masyarakat terhadap tokoh yang dimaksud. Kandidat independen selayaknya adalah tokoh yang tidak memiliki profil yang sama atau hampir sama dengan tokoh yang akan diusung para Parpol, misalnya ada tokoh yang saat ini sudah melakukan penggalangan secara intensif, hingga secara kelakar seorang teman bertanya, apakah si Bapak masih punya waktu mengurusi daerahnya ? atau kelakar lain apakah dana sumbangan itu dari kocek ybs atau dari APBD ?.
Kandidat yang berasal dari luar pemerintahan yang berkuasa akan memiliki daya tarik tersendiri bagi masyarakat, utamanya menyangkut ”bersih diri”, sekalipun sentimen keagamaan dan etnis juga menjadi pertimbangan tersendiri yang jika tidak dikelola secara baik akan menjadi nilai penentu pada saat-saat kritis.
Calon Independen yang sekalipun dikawatirkan banyak pihak akan mengalami kesulitan dalam pelaksanaan tugasnya bila terpilih, karena tidak memiliki dukungan di Parlemen, tentu akan menjadi isu yang akan hangat dihembuskan untuk memudarkan pemikiran para peminat, tetapi legitimasi yang kuat yang diperoleh langsung dari pemilih tentu tidak akan membuat para politisi yang ada di parlemen untuk mengorbankan dukungan masyarakat terhadap partainya pada pemilu tahun 2009 nanti.

Simpulan
Sekalipun harus melewati jalan yang berliku, tetapi calon independen pada PILKADA Gubernur Sumatera Utara tahun 2008 bukanlah hal yang mustahil. Berdasarkan ketentuan jabatan Gubernur Sumut akan berakhir pada 16 Juni 2008. Lima bulan sebelum masa jabatan berakhir, DPRD wajib memberitahukan kepada KPU Sumatera Utara, yaitu pada Januari 2008. Setidaknya masih ada waktu bagi para tokoh masyarakat SUMUT yang ingin bertarung pada PILKADA 2008. Belajarlah dari pasangan Sarwono/Jefry, daripada pada masa ”injury time” anda dipaksa harus melempar handuk putih, lebih baik sejak awal anda tidak menggantungkan peluang anda kepada para petinggi parpol, tetapi pada usaha sendiri untuk mencari dukungan dari masyarakat dan legitimasi secara hukum.

Tulisan ini telah dimuat dalam Harian Medan Bisnis pada Sabtu, 16 Juni 2007. dan disitus www.medanbisnisonline.com