Minggu, 28 Desember 2008

MASIHKAH PERAYAAN NATAL INDEPENDEN ?

Oleh : P. Erianto Hasibuan
Lama sudah penulis tidak pernah menyaksikan acara acara Natal bersama tingkat nasional yang disiarkan langsung oleh TVRI. Teramat lama hingga penulis sendiri tidak lagi mengingat kapan terakhir penulis menyaksikannya. Yang pasti penulis ingat adalah bagaimana kepiawaian seorang T.B. Silalahi meramu acara Natal tersebut dengan menampilkan berbagai pementasan yang menawan dan mengagumkan, termasuk prestasi para anak bangsa.
Natal bersama 27 Desember 2008 masih dengan sentuhan tangan dingin seorang T.B. Silalahi yang memiliki kemampuan seni dan wawasan kebangsaan yang luar biasa, meramu acara hingga tanggan enggan memindahkan saluran TV.
Dengan tema “Hiduplah Damai Dengan Semua Orang” yang diambil dari Roma 12 : 18 b. Acara yang dihadiri oleh Presiden SBY dan Ibu Ani juga Wkl Presiden Jusuf Kala dan Ibu, menurut laporan panitia dihadiri lebih dari 6.000 pengunjung. Selain disiarkan langsung ke seluruh Indonesia, ditengah-tengah acara dilakukan tele conference yang dipandu oleh T.B Silalahi antara Presiden dengan Gubernur Sumut Syamsul Arifin dari Siborong-borong.
Era Sebelumnya seingat penulis, Presiden memang selalu hadir dalam acara Natal bersama tingkat nasional, tetapi tidak dengan wakil presiden. Mungkin timing yang baik saat ini, menjelang tahun 2009 yang membuat kedua petinggi RI 1 dan RI 2 merasa mereka penting untuk hadir pada acara tersebut.
Indonesia Jaya
Tayangan berdurasi kurang lebih 5 menit ditengah-tengah acara, yang menggambarkan bagaimana keadaan Indonesia terkini, semula mengundang kekaguman penulis, bagaimana potensi wilayah Indonesia disajikan dan prestasi seni, budaya, pendidikan dan olah raga ditampilkan. Yang mengagumkan adalah uraian T.B Silalahi akan kehadiran Robot Asimo diacara tersebut. Beliau menjelaskan bahwa penampilan Asimo adalah untuk yang kedua kalinya, setelah penampilan perdana pada natal dua tahun lalu. Keberadaan Asimo yang diplesetkan sebagai “Aritonang dan Simomora” telah menjadi jembatan untuk menjelaskan ide besar beliau, untuk mengajak bangsa ini mengusasi high technology. Kritikan bahwa Asimo diciptakan setelah Aritonang menyaksikan pertunjukan “sigale-gale” (sebuah pertunjukan boneka dalam tradisi Batak) di depan rumah Simamora, kemudian setelah kembali ke Jepang ia menciptakan Asimo.
Tidak demikian dengan di tempat asalnya, “sigale-gale” tetap menjadi “sigale-gale” tanpa ada inovasi yang bersifat “high tech”. Untuk menunjukkan bagaimana ide besar beliau telah mulai membuahkan hasil, sejak penampilan Asimo dua tahun yang lalu, kemudian diceritakan bagaimana keberhasilan berbagai PTN dalam kontes robot di tingkat internasional. Seperti ITS, ITB dlsb. Pandangan visioner tersebut merupakan hal yang mengagumkan dari seorang T.B Silalahi.
Namun tampilan slide kemudian membuat kekaguman sedikit “ternoda” kepada “pengkultusan” pemimpin yang sedang berkuasa. Slide kemudian berisi aktivitas Presiden meliputi prestasi dan upaya yang “berhasil” dan dalam proses “keberhasilan” yang sedang dijalankan pemerintah dalam menghadapi krisis global.
Tak pelak lagi bahwa tampilan tersebut laiknya sebuah paparan akan keberhasilan pemerintah SBY, pendapat ini diperkuat dengan sangat apik oleh T.B Silalahi dengan mewawancarai ibi-ibu pedagang Pasar Senen yang dimanifestasikan mewakili 20 juta pedagang kecil se Indonesia.
Perhatikan petikan wawancara, dimaksud :
TB: Jika ibu jadi Menteri (Perdagangan, karena sebelumnya menyebut Mari E. Pangestu-pen) dapatkah dalam sepuluh hari atau satu bulan ini, ibu menurunkan harga sembako?
Pd: Tidak mungkin Pak, karena adanya krisis global.
(TB = T.B. Silalahi ; Pd = Ibu Pedagang di Pasar Senen)

Wawancara ini dapat dipastikan bukanlah sebuah wawancara spontan, tetapi telah diskenariokan dengan apik dengan tujuan membawa opini publik bahwa kondisi yang memprihatinkan saat ini memang sudah selayaknya terjadi. Dengan kata lain kondisi kerumitan ekonomi saat ini bukan karena ketidak mampuan pemerintah, tetapi karena kondisi global, jadi tidak perlu mempersalahkan pemerintah.

T.B Silalahi memang seharusnya sudah harus pensiun sebagaimana yang diutarakan beliau sendiri, karena tidak cukup sampai disitu, beliau benar-benar telah kehilangan kendali dan melupakan bahwa ybs bukan sedang berkampanye, tetapi merayakan Natal. Coba perhatikan pernyataan ybs di atas panggung Natal yang disaksikan secara Nasional :
“ Presiden suka menyanyi kok di kritik”.

Belum puas dengan itu semua, bak anak kecil yang takut kehilangan mainannya, ybs menggunakan robot Asimo sebagai sarana untuk menjelaskan secara gamlang untuk apa sesungguhnya perayaan Natal bersama tersebut dilakukan. Coba perhatikan pernyataan Asimo berikut :
“Saya ingin bertemu kembali dengan Presiden SBY ditempat ini Desember 2009”
Penulis tidak perlu lagi menanggapi pernyataan ini, dan siapapun tahu apa maksud dari pernyataan tersebut tanpa perlu berfikir panjang.

Independensi
Independensi adalah kata yang mudah untuk diucapkan, tetapi tidaklah mudah untuk melakukannya. Utamanya saat adanya konflik kepentingan diantara peran yang disandang oleh seseorang. Ketua Panitia Natal 2008 Purnomo Yusgiantoro adalah menteri ESDM. Tetapi sekalipun beliau adalah menteri di pemerintahan SBY, namun bukan berasal dari Partai Politik. Sejak pemerintahan Megawati, beliau telah menjadi Menteri. Beliau direkrut menjadi menteri karena kemampuan dibidangnya, sehingga dapat dikategorikan sebagai seorang profesional.
T.B. Silalahi saat ini salah seorang Penasihat Khusus Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Pada pemilu 2004 sebagai Ketua Tim Suksesnya SBY. Dapat dibayangkan bagaimana sulitnya bagi beliau untuk berdiri pada dua sisi namun tetap mempertahankan independensi. Pemilu tinggal hitungan bulan, pada sisi lain ada even dimana beliau memiliki keahlian, bahkan acara natal seolah identik dengan nama T.B Silalahi (selama 16 tahun berperan aktif), akankah beliau dapat melewatkan acara tersebut begitu saja ? Penulis dapat membayangkan, bagaimana panitia yang lain termasuk ketua panitia merasa belum layak untuk menolak setiap gagasan beliau. Sekalipun penulis yakin, diantara panitia masih ada yang merasakan aroma “kampanye” dalam acara tersebut. Namun kemampuan dan kekuasaan beliau telah membunuh nyali panitia lainnya.
Kemapanan
Acara Natal bersama tahun 2008, menjadi contoh kecil bagi kita untuk menggambarkan bagaimana kondisi di negara ini. Kemapanan (status quo/inqumben) dapat membuat seorang yang sangat profesional sekalipun kehilangan kredibilitasnya bahkan ke profesionalannya bila berhadapan dengan kemapanan.
Penulis yakin, pasti ada anak bangsa yang memiliki kemampuan seni dan krestivitas yang dapat menggantikan peran T.B Silalahi, tetapi persoalannya adalah apakah calon pengganti memiliki kemampuan dan nyali untuk mengambil alih kepemimpinan tersebut. Persoalan yang lebih pelik adalah, apakah si pemilik peran bersedia dengan lapang dada menyerahkan tongkat kepemimipinan tersebut ?. Jika menyerahkan saja belum bersedia, bagaimana mungkin untuk membimbing penerusnya ?. Lalu yang terjadi adalah laiknya iklan Ligna : Sudah duduk lupa berdiri.
Soeharto adalah contoh nyata ketidak pekaan kemapanan. Tetapi apakah estafet kepemimpinan selalu akan dilakukan dengan pola “people power” ? Para pemegang kemapanan seharusnya lebih arif belajar dari riwayat Soeharto. Andai ybs tidak hanya mendengar suara dari pihak pemegang kemapanan, maka beliau akan mengakhiri tugasnya dengan sangat indah, setidaknya bagaikan sambutan masyarakat saat meninggalnya Ibu Tien Soeharto. Tetapi kesalahan beliau telah menghasilkan hujatan.
Harapan
Penulis bukan anggota parpol manapun, sebagaimana pengakuan kelompok paduan suara ibu pedagang pasar senen. Jadi tidak ada motif politik apapun dalam tulisan ini. Keprihatianan terbesar penulis adalah :
(1) Perayaan Natal, sekalipun bukan Ibadah tetapi tetap berisi pengagungan nama Tuhan, dengan motif Kemuliaan bagi Nama Tuhan dan Damai Sejahtera di Bumi, bagi mereka yang percaya pada Nya. Motif diluar itu seharusnya tidak mengatas namakan perayaan Natal.
(2) Ketokohan seseorang hendaknya bertahan hingga akhir hayat, jangan lagi pernah terjadi ketokohan yang dibangun berpuluh-puluh tahun, menjadi sirna hanya karena ketidak pekaan sekejap.
(3) Agama adalah sarana manusia bertemu dengan khaliknya melalui pengenalan secara benar. Penggunaan sarana agama untuk kepentingan kelompok adalah pendegradasian dari Agama.
Akhirnya, penulis berharap para pemimpin serta pemegang kemapanan dapat memberikan contoh yang baik, dan kaum muda tetap memiliki keberanian untuk mengkritisi secara santun, sekalipun menghadapi para pemimpin dengan ketokohan yang mumpuni.
Bekasi, 28 Des 2008.

Kamis, 04 Desember 2008

Pemaknaan sebagai sumber motivasi

Oleh : P. Erianto Hasibuan

Siapa yang memiliki suatu alasan (why) untuk hidup akan sanggup mengatasi persoalan hidup dengan cara (how) apa pun. Nietzsche

Nama Nietzsche bukanlah nama yang akrab ditelinga kita, tetapi nama David Clarence McClelland (191727 Maret 1998) tentu nama yang tidak asing bagi mereka yang bergelut dibidang manajemen , nama tokoh peraih Ph.D dalam bidang psikologi eksperimental pada Universitas Yale tahun 1941, cukup dikenal berkat bukunya The achieving society (1961). Tetapi kita mengenal nama McClelland lebih karena penggunaan soft competence yang mengacu pada apa yang diformulasikannya. McClelland merumuskan bahwa motivasi manusia dibagi kedalam tiga kebutuhan utama, yaitu: Kebutuhan untuk berprestasi (Need for achievement/n-Ach), Kebutuhan untuk berkuasa (Need for power/n-Pow) dan Kebutuhan untuk berafiliasi (Need for affiliation /n-Aff). Pokok penting dari masing-masing kebutuhan berbeda untuk tiap-tiap individu dan juga tergantung pada latar belakang kultur masing-masing individu. Ia juga menyatakan bahwa motivasi yang kempleks ini adalah suatu faktor penting didalam perubahan sosial dan evolusi didalam kemasyarakatan. Peninggalannya juga termasuk sistim skoring yang dikembangkan bersamaan untuk Thematic Apperception Test (TAT) yang dikembangkan oleh Murray and Morgan (1935). TAT tersebut digunakan untuk menilai personaliti dan meneliti motivasi seseorang. Inilah yang banyak kita gunakan utamanya dalam penilaian soft competence. Masih ingat dengan wawancara yang dimaksudkan untuk menggali seberapa besar kita memiliki n-Ach, n-Aff dan n-Pow?, bahkan setiap tahun kita akan mengulangi hal yang sama bila kita tidak cukup tertib mengamati prilaku pegawai yang menjadi tanggung jawab kita untuk menilainya. Jika keduanya tidak dilakukan, maka soft competence, hanya tebakan belaka yang tidak menggambarkan kompetensi sesungguhnya dari pegawai yang dinilai. Pada saatnya bukan tidak mungkin tools yang kita peroleh dengan pengorbanan yang cukup besar hanya akan menjadi hafalan tanpa makna dalam kinerja keseharian.
Seberapa pentingkah pemaknaan tersebut ? Victor E. Frankl menolong kita untuk memahaminya melalui teorinya yang disebut dengan logoterapi yang mengakui adanya dimensi spiritual dan memanfaatkannya untuk mengembangkan hidup bermakna (therapy through meaning). Dari asal katanya, logoterapi berasal dari kata “logos” (bhs Yunani : λογος) yang berarti ‘meaning’ (makna) dan ‘spirituality’ (kerohanian). Logoterapi digolongkan pada Existential Psychiatry dan Humanistic Psychology.
Victor E. Frankl berpendapat bahwa kebutuhan manusia yang lebih mendasar adalah kebutuhan untuk hidup bermakna atau berarti. Keinginan untuk mempunyai makna merupakan salah satu kekuatan motivasi yang ada dalam diri manusia bahkan lebih mendasar daripada “prinsip kesenangan” (pleasure principle) dari Freud atau “keinginan untuk berkuasa” dari Adler. Menurut Frankl, seseorang akan menjadi sakit apabila dia tidak lagi mempertanyakan keberadaannya. Hal ini terjadi karena dia tidak dapat lagi berfungsi sebagaimana mestinya atau istilah Frankl manusia itu sedang berada di dalam “kekosongan eksistensial”
Ajaran Logoterapi
Logoterapi berpandangan bahwa “makna hidup” (the meaning of life) dan “hasrat untuk hidup bermakna” (the will to meaning) merupakan motif azasi manusia yang dapat dilihat dalam dimensi spiritual atau “noetic”. Jadi, Frankl berpendapat bahwa ada dimensi lain selain dimensi somatik dan psikis, yaitu dimensi spiritual. Tampaknya Frankl tidak memisahkan antara fisik, psikis dan spiritual seorang manusia dan menganggapnya merupakan satu kesatuan yang utuh. Konflik dasar spiritual yang muncul dari dalam diri seseorang dapat terjadi sebagai akibat ketidakmampuannya untuk muncul secara spiritual mengatasi kondisi fisik dan psikisnya. Konflik ini tidak berakar pada kerumitan psikologis, akan tetapi terpusat pada hal spiritual dan etis. Apabila terdapat satu konflik spiritual dapat menyebabkan gangguan psikologis (neurosis) yang disebut Frankl sebagai “noogenic neurosis”. Terapi ini bertujuan untuk memenuhi dorongan spiritual yang dibawa oleh manusia sejak lahir dengan mengeksplorasi makna keberadaan manusia.
Darimana manusia memperoleh makna hidup?, menurut Frankl makna hidup bersumber dari :
1. Nilai-nilai kreatif (creatif values), yaitu : berkarya, bekerja, mencipta, dan melaksanakan satu kegiatan dengan baik karena mencintai kegiatan itu.
2. Nilai-nilai penghayatan (experiental values), yaitu : meyakini dan menghayati kebenaran, keyakinan, keindahan, cinta kasih, dan keimanan.
3. Nilai-nilai bersikap (attitudinal values), yaitu : mengambil sikap tepat atas pengalaman tragis yang tak terhindarkan.
Apabila seseorang tidak lagi dapat menemukan makna hidup dari kreativitas atau kegiatan yang dilakukan (creatif values) dan pengalaman hidup tidak lagi memberi makna (experiental values), Frankl berpendapat bahwa seseorang masih dapat menemukan makna hidup dengan cara “mengatasi penderitaannya” (attitudinal values). “Attitudinal values” inilah yang merupakan ajaran mendasar dari Frankl dalam logoterapi, yaitu melihat makna positif dari satu penderitaan.
Aplikasi
Frankl seolah menyentakkan kita yang biasa bekerja dengan rutinitas tinggi, utamanya bila kita bekerja berdasarkan kebiasaan yang diwariskan oleh pendahulu kita, hingga tidak jarang terdengar jawaban “dari dulu juga begini !”, bagaimana mungkin kita memberi makna atas suatu pekerjaan yang kita tidak pahami dengan baik mengapa kita melakukan pekerjaan tersebut. Kondisi ini dipahami dengan baik oleh Nietzsche, hingga ia memberi komentar yang singkat namun sarat makna menyangkut teori logo terapi Frankl : Siapa yang memiliki suatu alasan (why) untuk hidup akan sanggup mengatasi persoalan hidup dengan cara (how) apa pun.
Teori Motivasi McClelland ditujukan untuk mengukur soft competence yang dimiliki seseorang untuk dapat sukses, kesuksesan dicapai melalui Nilai-nilai kreatif (creatif values) yang menjadi sumber makna hidup menurut Frank. Dengan demikian organisasi akan sukses bila setiap personil didalam perusahaan berhasil menumbuhkan rasa kecintaan terhadap pekerjaannnya. Menumbuhkan rasa kecintaan adalah pemberian makna dalam bekerja, tanggung jawab ini tidak dapat diserahkan kepada pihak luar atau lembaga lain, tetapi menjadi tanggung jawab setiap mereka yang diserahi tanggung jawab untuk memimpin secara langsung. Tanggung jawab atasan yang lebih tinggi adalah menyediakan sarana penunjang dalam pelaksanaan tersebut. Dengan demikian slogan “jangan berbuat salah” bukan lagi menjadi kemutlakan, tetapi mengapa salah dan bagaimana untuk tidak lagi salah menjadi penting sebagai suatu proses dalam menumbuhkan Nilai-nilai kreatif, tanpa bermaksud membenarkan kesalahan untuk maksud-masksud kepentingan pribadi atau kelompok.
SMK tahun 2008 akan dikorelasikan dengan pemberian jasa produksi (JP), kinerja kadang menjadi “segalanya” mengingat proporsi yang linear dengan tingkat manajerial, sementara pada level non manajerial kompetensi masih memiliki nilai yang signifikan. Kompetensi seyogiaya proporsional dengan kinerja, tetapi kompetensi tanpa makna tidak akan berkorelasi positif secara signifikan. Lalu akankah kegagalan pemberian makna oleh atasan menjadi beban bawahan ? Semoga tidak.
Simpulan
Kerap kita mendengar, seseorang yang taat beragama malah melakukan tindakan tak terpuji, ibadah dilakukan dengan rutin, doa dipanjatkan dengan tekun, tetapi mengapa ia harus mengakhiri hidupnya sendiri ? Inilah hidup tanpa makna menurut Frankl. Dosen saya memberi komentar dengan mengatakan : Victor E. Frankl memusatkan perhatian pada pemberian makna kehidupan yang baik di dalam melihat dan memilih berbagai alternatif kehidupan yang penuh konflik. Pilihan kehidupan yang menuai konflik dapat dibuat bermakna dengan merubah cara berpikir di dalam melihat sebuah fenomena. (Prof. Drs Djamaludin Ancok, Ph.D. Guru Besar Psikologi Sosial Universitas Gadjah Mada)-(hasjuli08)

Bacaan :
Frankl, Victor. E, Man’s Search for Meaning: An Introduction to Logotherapy : An Introduction to, Logotherapy, Washington Square Press, New York, 1963.
Gibson, James L. Organizations : behavior, structure, processes, 9thed. Richard D. Irwin, 1997.
McClelland, D. C. The achieving society. Princeton: Van Nostrand, 1961.
McClelland, D.C., Atkinson, J.W., Clark, R.A., & Lowell, E.L. The achievement motive. Princeton: Van Nostrand, 1953.
Murray, H.A. Explorations in personality, Oxford University Press, New York 1938.
Suryabrata, Sumadi, Psikologi Kepribadian, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1998