Jumat, 21 Desember 2012

Banjarmasin


Oleh : P. Erianto Hasibuan
Dua pupuh enam September tahun dua ribu sebelas aku mendarat di Banjarmasin, sampai di Banjarmasin dibekali berbagai cerita miring  akan kehidupan di kota seribu sungai ini. Ada cerita tentang ilmu gaib, utamanya adalah cerita poligami. Tidak mudah memang membangun persepsi objektif ditengah “cekokan” opini yang miring tersebut.
Hidup seorang diri tanpa ditemani keluarga sudah pasti berat secara fisik dan psikis. Utamanya sejak menikah dan mempunyai anak, praktis kami tak pernah terpisah dan aku terbiasa tidak mengurusi hal remeh temeh. Belum lagi berbagai opini miring buat orang yang hidup sendiri di kota seribu masjid ini menjadi “seolah” menakutkan. Yang paling mengenaskan sesungguhnya adalah dikala keraguan juga muncul dari keluarga dekat, hingga isteri “dipaksa” untuk terus mendampingi walau anak berada di kota terpisah.
Begitu menakutkan kah kota Banjarmasin bagi pria dewasa yang hidup sendiri? Setelah melalui selama lima belas bulan tinggal dan menyatu dengan warga Banjarmasin, ternyata cerita dan persepsi awal yang dibangun sama sekali berbeda dengan fakta di lapangan. Bila fakta banyak yang ber poligami  bisa jadi ia, bisa juga tidak. Tetapi sayangnya “joke” sudah berkembang luas bahwa isteri satu itu bukan orang banjar, isteri dua itu baru belajar, isteri tiga (maaf) itu kurang ajar, isteri empat itu baru orang banjar. (sekali lagi maaf buat urang banua). Joke ini mungkin yang membuat cerita-cerita miring seperti yang penulis dengar kala sebelum berangkat ke Banjarmasin berkembang dengan pesat, hingga ada cerita seorang keluarga jauh yang mendapat promosi ke Banjarmasin mengundurkan diri karena keluarga takut.
Banjarmasin secara kultur alam sesungguhnya mirip dengan kota Palembang, demikian juga dengan menu makan. Perbedaannya warga Banjar menyatu dengan alam hingga mereka tak mengguruk lahannya kala membangun rumah, hingga kita menyaksikan rumah panggung, sementara di kota Palembang sudah sulit menemukan rumah panggung, karena dilakukan penggurukan atas lahan gambut yg ada. Urang Banjar (sebutan untuk orang banjar atau urang banua untuk sebutan yang lebih luas) adalah masyarakat yang sangat ramah dan santun, tetapi kaum wanita banjar tidaklah agresif, sehingga bila terjadi poligami,  cenderung karena agresifitas kaum adam. Nah jika demikian apa yang harus dikawatirkan dengan Banjarmasin? Jika turunan Oom Adam yang punya kemauan, itu sih di mana pun dapat terjadi.
Hari ini penulis berpamitan dengan urang banua, karena esok pagi akan meninggalkan Banjarmasin. Kesantunan yang dimiliki urang banua akan menjadi pelajaran pertama yang penulis akan ingat dan lakukan. Perasaan yang begitu halus memang membuat urang banua enggan untuk menegur orang lain dan cenderung dengan “bahasa kebatinan”, atas hal ini penulis harus banyak memohon maaf kepada urang banua, karena pasti ada yang terluka atas keterus terangan penulis dalam menegur, tetapi tentu dimaksudkan untuk memperbaiki sesuatu yang belum pas, bukan “melecehkan” pribadi ybs.  Jika penulis masih juga menegur secara “blak-blakan” itu bukan emosi karena kebencian, tetapi lebih karena ketidak sabaran untuk melihat perubahan yang signifikan.
Ikan patin, papuyuh, haruan dan sambel yang begitu pedas adalah menu yang menemaniku selama lima belas bulan di Banjarmasin. Banjar, Pelehari, Rantau, Tanjung, Tanah Bumbu hingga kota baru adalah tempat yang penuh kenangan, begitu juga Martapura yang menyenangkan kala berkunjung dengan teman, tetapi merobek dompet kala berkunjung dengan isteri. Bandara Syamsudin Noor tidak lagi menjadi menu wajib tengah bulanan, taman kamboja tak lagi tempat berolahraga dikala pagi, tidak ada lagi bulu tangkis di kala sabtu atau ping-pong di sore hari. Tetapi persaudaraan dari semuanya itu tentu akan tetap bersemi selama oksigen masih dapat diterima tubuh ini.
Terimakasih buat kebersamaan yang menyentuh, ketulusan dalam membantu dan keceriaan yang bersahaja dan pertemanan tanpa embel-embel, dan yang tidak boleh lupa terimakasih buat cendera mata yang mengharukan dan ucapan yang membangun serta “gojlokannya” … akhirul kalam seperti kata pepatah Kalau ada jarum yang patah jangan disimpan didalam peti, kalau ada kata dan prilaku yang salah jangan disimpan di dalam hati. Majulah BTN Banjarmasin. Menjadi 1 T di DPK memang belum kita capai, tetapi Banjarmasin Menjual sudah kita mulai, langkah sudah kita ambil tinggal konsistensi dalam melangkah dan kesungguhan dalam kebersamaan, pasti keberhasilan mengiring bersamanya. Amin. (bdj21122012)

Tidak ada komentar: