Selasa, 18 Desember 2007

Wapres Puji Ical, Pribumi Pertama Terkaya

Adakah yang salah dengan judul di atas ?, Sesungguhnya bila hal itu saya yang mengucapkan tidak ada masalah, tetapi karena diucapkan oleh petinggi republik ini dan dimuat oleh harian berpengaruh ditanah air, maka akan muncul rentetan pertanyaan lain misalnya masikah relevan penggunaan istilah Pribumu di negeri ini?.
Apa yang membuat kita masih layak menggunakan istilah Pribumi dan Non Pribumi, sementara mereka yang dikatakan "nonpri" sekalipun tinggal segelintir yang mengenal kampung halamannya di negeri lain. Misalnya etnis tionghoa, hanya kalangan ber "duit" saja yang punya kesempatan untuk kembali ke tanah leluhurnya dan menelusuri silsilah mereka, sementara yang lain hanya kulit dan bahasanya saja yang membedakan mereka, tetapi yang mereka pahami bahwa mereka tinggal dan lahir di Indonesia.
Kondisi tersebut mengingatkan saya pada teman-teman saya etnis Jawa yang tinggal dan lahir di sumatra (Pujakusuma/Putera Jawa Kelahiran Sumatra). Mereka hanya mengerti bahwa mereka berasal dari Jawa, tetapi umumnya mereka dapat dikatakan tidak lagi memiliki ikatan emosional yang kuat dengan Pulau jawa sebagaimana dengan Sumatra sebagai tempat tinggal mereka, bahkan tidak jarang dari mereka yang menolak disebut dengan orang Jawa, tetapi Jawa Deli (Jadel) atau Pujakesuma. Bagaimana dengan anda, setujukah anda dengan dikotomi Pak Wapres ??


Kompas, Jum'at, 14 Desember 2007
Wapres Puji Ical, Pribumi Pertama Terkaya
JAKARTA, KOMPAS - Wakil Presiden Muhammad Jusuf Kalla memuji Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat Aburizal Bakrie yang oleh Majalah Bisnis Forbes ditetapkan sebagai orang terkaya di Indonesia dengan nilai total kekayaan 5,4 miliar dollar AS atau setara dengan Rp 50 triliun.
"Di balik pengumuman orang terkaya itu, ada yang penting, yaitu untuk pertama kalinya dalam sejarah, seorang pengusaha pribumi menjadi orang terkaya nomor satu di Indonesia," tandas Wapres Kalla, saat dimintai komentarnya oleh wartawan yang tergabung dalam Forum Komunikasi Wartawan Wakil Presiden atau Forwapres, seusai sholat Jumat (14/12) siang di Istana Wapres, Jakarta.
Pasalnya, menurut Wapres Kalla, selama ini tidak pernah pengusaha pribumi yang mendapat prestasi seperti itu. "Jadi, kita hargai kerja keras mereka," tambah Wapres Kalla.
Wapres Kalla melanjutkan, kekayaan yang berhasil dikumpulkan Ical--begitu panggilan akrabnya--merupakan hasil kerja keras, keberanian, inovasi dan pengambilan kesempatan.
Ditanya bagaimana dengan hikmah di balik keberhasilan Ical meraih predikat sebagai orang terkaya di Indonesia terkait dengan pembayaran kompensasinya kepada warga korban lumpur PT Lapindo Brantas di Sidoardjo, Jawa Timur, Wapres Kalla menjawab, hal itu pasti akan dibayar.
"Selain karena sudah ada perjanjian yang harus dipenuhi, yaitu tahun depan harus membayar 80 persen sisanya kepada warga, kekayaan itu juga membuktikan bahwa warga korban Lapindo akan semakin tenang, mengingat (orang) yang dituntut untuk membayar itu ternyata orang yang terkaya), yang tidak akan lari. Itulah positifnya," ujar Wapres Kalla.
Ditambahkan oleh Wapres Kalla, dengan predikat Ical sebagai orang terkaya di antara 40 orang terkaya lainnya di Indonesia lainnya, kekayaan Ical harus dijaga dan dipelihara supaya tetap baik.
Saat ditanya tentang kekayaan pribadinya yang oleh Forbes ditempatkan di nomor urut 30 dengan nilai 230 juta dollar AS, Wapres Kalla mengaku belum membaca majalah bisnis tersebut. (HAR)

Selasa, 04 Desember 2007

GENERASI INSTAN

Jack Ryan, 21 tahun seorang petinju Pro yang meninggal pada 19-02-04 setelah dipukul TKO oleh lawannya di GOR Satria Purwokerto Jawa Tengah, Jack merupakan petinju yang ke 11 menjadi korban di ring tinju pro sejak Bongguk Kendy pada tahun 1990. Dapat dipastikan Jack, Mosse, dll memasuki dunia tinju profesional tanpa melalui tinju amatir, sebagaimana yang lazim dilakukan oleh petinju-petinju tersohor seperti , Lenox, Holyfied, Tyson adalah mantan peraih medali di Olimpiade. Dunia tinju Indonesia sepertinya lebih memilih jalan pintas dari pada melalui tahapan panjang dari tinjui amatir, sekalipun tahan uji.
Tidak hanya dalam dunia tinju dalam dunia pendidikan di negeri ini pun banyak bertabur gelar-gelar yang diperoleh secara instan tanpa harus bekerja keras melalui bangku kuliah, sebut saja gelar DR (HC) (doktor honoris causa) yang dianugrahkan oleh lembaga-lembaga yang tidak jelas eksistensinya, tentu tidak seperti gelar DR(HC) yang diperoleh oleh DR Mahatir (mantan PM Malaysia) dari UNPAD – Bandung belum lama ini. Gelar itu jelas diperoleh bukan atas inisiatif DR Mahatir, tetapi atas kehendak Senat Universitas Padjadjaran Bandung setelah menilai pengabdian dan kontribusi beliau dalam bidang tertentu. Sementara gelar “kacangan” diperoleh dengan cara membayar biaya tertentu kepada pihak pemberi gelar, dan konyolnya lagi sipenyandang cukup membuat tulisan (sejenis karya ilmiah) yang penulisannya juga dapat di “pesankan” dengan membayar biaya tertentu, dan semuanya dengan jalan pintas dan berbau “instan” bagaikan “fast food”, Lalu tanpa malu-malu si pemilik gelar mencantumkan gelar tersebut dalam berbagai kesempatan tanpa embel-embel “HC” (Honoris Causa), sehingga orang yang tidak mengerti dapat menganggap bahwa ybs adalah peraih gelar lewat cucuran keringat dan kerja keras, sebagaimana seorang mahasiswa yang menimba ilmu dengan kerja keras dan pengorbanan.
Peran Media Massa
Tren masyarakat yang menyukai “jalan pintas” yang serba “instan” dan “fast” sedikit banyak telah dipengaruhi dan juga mempengaruhi media massa untuk menjual produk-produk yang berbau “instan” dan “irrasional”, lihat saja, stasiun televisi mana yang tidak memproduksi serial misteri, belum lagi acara yang berbau supra natural, kecuali acara jelajah alam gaib di TV7, seluruh stasiun televisi di tanah air seolah mengajak pemirsanya untuk meyakini dan mengimplementasikan kekuatan supra natural. Di media cetak, utamanya di Medan, dengan sangat mudah kita melihat iklan-iklan yang bernuansa supra natural ditawarkan secara terbuka, bahkan lengkap dengan tarif dan jaminan keberhasilan dalam hitungan jam, bahkan menit, sekaligus kasiat yang digaransi awet dan atas perkenan-Nya. Media cetak yang memuat hal tersebut biasanya sangat banyak dikonsumsi masyarakat di kota Medan, dan menjadi pajangan diberbagai loper di berbagai sudut kota Medan. Media tersebut umumnya laris manis, karena selain diminati masyarakat juga karena harganya jauh lebih murah dibandingkan dengan harian yang rasional.
Media massa tidak dapat disangkal akan sangat mempengaruhi pola pikir para pembacanya, utamanya apabila sipembaca memiliki keterbatasan untuk mengkaji atau memfilter informasi yang dibacanya, keterbatasan tersebut dapat disebabkan karena keterbatasan wawasan, usia (anak-anak akan cenderung meyakini setiap informasi yang diperoleh secara utuh), pendidikan. Dan yang disayangkan justru pengkonsumsi media cetak yang menawarkan hal-hal instan tersebut umumnya adalah mereka yang memiliki keterbatasan tersebut, sehingga sebagian besar informasi ditelan sebagai kebenaran dan berubah menjadi pola pikir yang digunakan dalam menyelesaikan segala persoalan hidup yang dihadapi. Jadi jangan heran jika dikalangan masyarakat tersebut pertaruhan yang mengharapkan hasil secara instan seperti TOGEL, MONEY GAME dan lainnya akan tumbuh subur.
Budaya Instan
Sesungguhnya di daerah ini, budaya instan tersebut sudah sedemikian merasuk ke hampir seluruh kalangan, sekalipun belum dilakukan penelitian secara ilmiah atas kondisi tersebut, tetapi fakta dimasyarakat tak terpungkiri. Pada saat dilakukan penerimaan PNS atau rekrutmen pegawai pemerintah lainnya, adalah hal yang wajar bagi para masyarakat untuk mencairkan simpanannya atau mencari pinjaman untuk “uang pelicin” agar si pencari kerja dapat diterima, dan kondisi ini diketahui dengan baik oleh sipencari kerja, jadi bukan hanya dikalangan orang tua tapi si anak sudah mengetahui bagaimana caranya dia untuk bisa masuk kerja. Coba bayangkan jika hal tersbut juga diketahui oleh adik si pencari kerja yang masih sekolah, tentu dalam benaknya akan tersirat bahwa yang penting adalah lulus sekolah dan kualitas merupakan masalah lain, sebab untuk bekerja yang diperlukan bukan kualitas, tetapi seberapa besar dimiliki “uang pelicin”,
Bagi para mahasiswa/I, secara tidak langsung para pengajar (dosen) juga telah mengajarkan budaya “instan”, lihat saja berapa gelintir para mahasiswa yang mempelajari suatu matakuliah dari text book, umumnya sumber pelajaran adalah diktat yang berisi ringkasan-ringkasan dari teori yang dipelajari, hal ini disukai mahasiswa karena singkat dan padat, tetapi mereka akan kehilangan dasar filosofis dari terbentuknya teori tersebut. Bandingkan alternatif yang diberikan, bila menggunakan text book harus membaca sedikitnya 250 halaman dan belum tentu cukup 1 text book, sementara dengan diktat cukup 1 diktat dan paling banyak Cuma 50 halaman.
Budaya instan sesungguhnya telah merasuk hampir kepada seluruh sisi kehidupan msyarakat, tidak terkecuali para pengambil keputusan di negeri ini, sehingga logika sering kali ditinggalkan dan berharap segala masalah dapat selesai secara instan dengan bantuan kekuatan supra natural. Tentu masih segar dalam ingatan pembaca peristiwa yang lalu, dimana seorang menteri yang masih aktif hingga saat ini meminta dilakukan pengalian “harta karun” yang petunjuknya didasarkan pada ilham seseorang di dalam mimpi. Bukankah hal itu merupakan bukti tumbuh suburnya budaya jalan pintas ?
Jadi janganlah kita mempersalahkan para CALEG kita saat ini, apakah itu DPD, DPR dan DPRD bila kebanyakan dari mereka adalah job seeker yang mengharapkan mendapat pekerjaan bagus, posisi terhormat dan gaji tinggi sekalipun untuk mendapatkannya mereka mengatasnamakan masyarakat yang mereka belum pernah melakukan apapun secara signifikan terhadap kepentingan masyarakat tersebut. Dan tidak jarang si CALEG serta merta mendirikan NGO/LSM yang dimaksudkan untuk memperindah curiculum vitae ybs, sementara mendengar nama NGO/LSM dimaksud masyarakat belum pernah, tetapi telah diekspos hal-hal yang signifikan yang dilakukan NGO/LSM dimaksud, tentu dibawah kepemimpinan Caleg dimaksud. Nah, kembali lagi yang menjadi sasaran adalah mereka yang memiliki keterbatasan dalam menyaring informasi, sehingga pada masa sekarang mayarakat-masyarakat yang memiliki banyak keterbatasan tersebut akan dieksploitasi, sementara setelah mereka mendapatkan hasil eksploitasi tersebut masyarakat akan kembali kepada kondisinya semula, tanpa ada perubahan apapun.
Harapan
Akankah negeri ini melestarikan generasi instan dari generasi ke generasi ?, hanya kita yang dapat menjawabnya. Pemerintah tentu tidak dapat melarang media untuk “mencekoki” masyarakat dengan informasi-informasi yang menumbuhkan budaya “instan”, karena hal tersebut akan melanggar kebebasan pers. Pemerintah juga sulit untuk melarang lembaga-lembaga penyelenggara “gelar instan” untuk menghentikan prakteknya, karena pemerintah dapat diklaim menghambat proses pencerdasan bangsa, pemerintah juga tidak memiliki cukup dana dan tenaga untuk mengawasi segala aktivitas masyarakat yang mengarah ke gegiatan yang kontar produktif tersebut.
Yang paling efektif adalah jika masyarakat sendiri secara sadar dan bersama-sama melakukan penolakan terhadap kegiatan-kegiatan tersebut. Contohnya, jangan membeli media cetak yang isinya cerita-cerita isapan jempol dan iklan-iklan yang mendorong pola pikir “instan”, dan jangan membeli gelar murahan, atau memberikan “uang pelicin” untuk mendapatkan pekerjaan. Bukankah Pepatah rusia mengatakan “Ikan mati terbawa arus Ikan hidup Melawan Arus”.
Oleh : P. Erianto Hasibuan
Tulisan ini telah dimuat dalam harian Medan Bisnis pada tanggal 11 Juni 2004

Senin, 03 Desember 2007

Hati Nurani, Masihkah Ada?


Oleh P Erianto Hasibuan
Membaca judul di atas pasti sebagian besar pembaca akan mengamini, bahwa setiap manusia masih memiliki hati nurani. Persoalannya mungkin bukan sekadar keberadaannya, tetapi kemurnian dan kekuatannya untuk mempengaruhi. Seorang teman mengatakan kepada penulis, “Hati nurani selalu ada, hanya persoalannya masihkah kita terpengaruh olehnya, atau tidak”. Jika jawabannya adalah yang terakhir, maka hati nurani tidak akan menghasilkan perubahan apapun.Teman lain berkata, jika masih ingin melihat peran hati nurani dalam perilaku seseorang, pergilah ke tempat-tempat di mana banyak terdapat orang susah dan sederhana, mereka akan terlihat lebih peka dan cepat untuk menolong sesamanya. Mungkin karena mereka belum terlalu banyak belajar dan membaca, sehingga tidak banyak ambisi yang mereka kejar. Sementara, teman lainnya dengan sinyal setuju mengatakan, lihat saja di persimpangan jalan di mana banyak terdapat pengemis dan pengamen, siapa yang lebih banyak diserang oleh pengamen dan kaca mobil mana yang lebih banyak terbuka saat di traffic light? Apakah mobil-mobil mewah atau mobil-mobil kelas menengah dan sederhana? Lalu penulis menyela sambil bercanda, mungkin karena di mobil mewah udara begitu dingin dan harum, jadi kalau kaca dibuka untuk memberi sedekah atau saweran akan mengganggu kenyamanan. Selain itu, perda untuk tidak memberikan sedekah bagi pengemis di Kota Medan menjadi salah satu alasan logis. Rasa Kepekaan Nurani yang bekerja dengan baik, senantiasa terlihat dari perilaku dan tindakan seseorang. Jika kita hanya mengandalkan aturan sesuai norma, maka banyak hal yang tidak dapat diatur oleh aturan secara tertulis, apalagi secara hukum mengikat. Hal yang tidak diatur bukan berarti kita dapat melakukan dengan sesuka kita. Utamanya, dengan mengandalkan kemampuan kita yang mengetahui loop hole dari berbagai ketentuan hukum, sampai kapanpun tidak akan pernah sempurna.Lihat saja kasus gugatan masyarakat korban lumpur Lapindo yang ditolak seluruhnya oleh majelis hakim tanggal 27 November 2007. Pertimbangan hakim hanya berdasarkan pada upaya optimal dari pemerintah dalam penanganan korban Lumpur Panas Lapindo Brantas Inc. Alasannya, karena sejauh ini Lapindo Brantas Inc telah mengeluarkan uang hampir 1 (satu) triliun rupiah untuk penanggulangan lumpur panas. Pemerintah juga telah mengeluarkan berbagai kebijakan berkaitan dengan luapan lumpur panas Lapindo. Di antaranya Peraturan Presiden No 14 Tahun 2007 tentang Pembentukan BPLS, pembentukan Timnas Penanggulangan Lumpur Sidoarjo, perpres yang mengatur jual beli antara korban hingga tanggal 22 Maret 2007 dengan pihak PT Lapindo Brantas. Penulis tidak dapat menanggapi secara hukum, karena itu bukan keahlian penulis. Tetapi, dari aspek rasa keadilan yang kasat mata, mungkinkah masyarakat sebagai korban akan dikalahkan dan dianggap telah cukup dengan alasan normatif di atas? Kasus Adelin Lis, andai memang dalam pengajuan berkasnya belum lengkap, tidakkah hakim dapat mengingatkan jaksa untuk melengkapi? Atau malah merupakan kesempatan emas bagi para hakim untuk mengambil keuntungan dari kealpaan jaksa (atau kealpaan yang disengaja?). Tidakkah para hakim menyadari dampak dari penebangan hutan secara liar sudah membawa korban secara nyata? Akankah logika untung ruginya tidak dapat dipengaruhi oleh nuraninya?Lihat lagi dua hari terakhir ini (tanggal 28 dan 29 Nov 2007), salah satu harian lokal di Medan yang cukup ternama, dengan ringan tanpa beban telah membuat karikaturnya manusia akar, yang digambarkan sedang dikejar-kejar hendak dipotong oleh gergaji kayu. Andai tidak peka untuk meringankan beban si Dede (38) mengapa harus mengeksploitasi dan menjadikan sebagai lelucon penderitaan orang lain? Bukankah sebagai orang media, mereka telah membaca bagaimana menteri kesehatan RI berang akibat pengambilan sample darah yang tidak sesuai dengan ketentuan undang-undang dan eksploitasi foto yang bersangkutan oleh media asing. Ini juga adalah masalah hati nurani, secara hukum dan apapun namanya, memang si pembuat karikatur tersebut boleh dikata tidak bersalah, tetapi apakah hanya karena daya kreativitasnya lagi “mandul” dia menggunakan penderitaan orang lain sebagai jalan pintas? Mungkin, benar juga dugaan awal tadi bahwa semua orang masih memiliki nurani. Hanya persoalannya apakah nurani tersebut masih dapat mempengaruhi tuannya agar lebih peka terhadap sesama dan lingkungan atau tidak. Jika tidak, marilah kita lebih banyak mengasah diri untuk lebih peka, hingga kita tidak hanya bangga pada saat kita tidak melanggar hukum, tetapi bangga pada saat kita dapat menolong sesama sekalipun hukum dan ketentuan tidak mengaturnya.
Penulis adalah pemerhati masalah sosial dan bermukim di Medan
Tulisan ini dimuat pada Harian Medan Bisnis Sabtu, 01-12-2007