Selasa, 04 Desember 2007

GENERASI INSTAN

Jack Ryan, 21 tahun seorang petinju Pro yang meninggal pada 19-02-04 setelah dipukul TKO oleh lawannya di GOR Satria Purwokerto Jawa Tengah, Jack merupakan petinju yang ke 11 menjadi korban di ring tinju pro sejak Bongguk Kendy pada tahun 1990. Dapat dipastikan Jack, Mosse, dll memasuki dunia tinju profesional tanpa melalui tinju amatir, sebagaimana yang lazim dilakukan oleh petinju-petinju tersohor seperti , Lenox, Holyfied, Tyson adalah mantan peraih medali di Olimpiade. Dunia tinju Indonesia sepertinya lebih memilih jalan pintas dari pada melalui tahapan panjang dari tinjui amatir, sekalipun tahan uji.
Tidak hanya dalam dunia tinju dalam dunia pendidikan di negeri ini pun banyak bertabur gelar-gelar yang diperoleh secara instan tanpa harus bekerja keras melalui bangku kuliah, sebut saja gelar DR (HC) (doktor honoris causa) yang dianugrahkan oleh lembaga-lembaga yang tidak jelas eksistensinya, tentu tidak seperti gelar DR(HC) yang diperoleh oleh DR Mahatir (mantan PM Malaysia) dari UNPAD – Bandung belum lama ini. Gelar itu jelas diperoleh bukan atas inisiatif DR Mahatir, tetapi atas kehendak Senat Universitas Padjadjaran Bandung setelah menilai pengabdian dan kontribusi beliau dalam bidang tertentu. Sementara gelar “kacangan” diperoleh dengan cara membayar biaya tertentu kepada pihak pemberi gelar, dan konyolnya lagi sipenyandang cukup membuat tulisan (sejenis karya ilmiah) yang penulisannya juga dapat di “pesankan” dengan membayar biaya tertentu, dan semuanya dengan jalan pintas dan berbau “instan” bagaikan “fast food”, Lalu tanpa malu-malu si pemilik gelar mencantumkan gelar tersebut dalam berbagai kesempatan tanpa embel-embel “HC” (Honoris Causa), sehingga orang yang tidak mengerti dapat menganggap bahwa ybs adalah peraih gelar lewat cucuran keringat dan kerja keras, sebagaimana seorang mahasiswa yang menimba ilmu dengan kerja keras dan pengorbanan.
Peran Media Massa
Tren masyarakat yang menyukai “jalan pintas” yang serba “instan” dan “fast” sedikit banyak telah dipengaruhi dan juga mempengaruhi media massa untuk menjual produk-produk yang berbau “instan” dan “irrasional”, lihat saja, stasiun televisi mana yang tidak memproduksi serial misteri, belum lagi acara yang berbau supra natural, kecuali acara jelajah alam gaib di TV7, seluruh stasiun televisi di tanah air seolah mengajak pemirsanya untuk meyakini dan mengimplementasikan kekuatan supra natural. Di media cetak, utamanya di Medan, dengan sangat mudah kita melihat iklan-iklan yang bernuansa supra natural ditawarkan secara terbuka, bahkan lengkap dengan tarif dan jaminan keberhasilan dalam hitungan jam, bahkan menit, sekaligus kasiat yang digaransi awet dan atas perkenan-Nya. Media cetak yang memuat hal tersebut biasanya sangat banyak dikonsumsi masyarakat di kota Medan, dan menjadi pajangan diberbagai loper di berbagai sudut kota Medan. Media tersebut umumnya laris manis, karena selain diminati masyarakat juga karena harganya jauh lebih murah dibandingkan dengan harian yang rasional.
Media massa tidak dapat disangkal akan sangat mempengaruhi pola pikir para pembacanya, utamanya apabila sipembaca memiliki keterbatasan untuk mengkaji atau memfilter informasi yang dibacanya, keterbatasan tersebut dapat disebabkan karena keterbatasan wawasan, usia (anak-anak akan cenderung meyakini setiap informasi yang diperoleh secara utuh), pendidikan. Dan yang disayangkan justru pengkonsumsi media cetak yang menawarkan hal-hal instan tersebut umumnya adalah mereka yang memiliki keterbatasan tersebut, sehingga sebagian besar informasi ditelan sebagai kebenaran dan berubah menjadi pola pikir yang digunakan dalam menyelesaikan segala persoalan hidup yang dihadapi. Jadi jangan heran jika dikalangan masyarakat tersebut pertaruhan yang mengharapkan hasil secara instan seperti TOGEL, MONEY GAME dan lainnya akan tumbuh subur.
Budaya Instan
Sesungguhnya di daerah ini, budaya instan tersebut sudah sedemikian merasuk ke hampir seluruh kalangan, sekalipun belum dilakukan penelitian secara ilmiah atas kondisi tersebut, tetapi fakta dimasyarakat tak terpungkiri. Pada saat dilakukan penerimaan PNS atau rekrutmen pegawai pemerintah lainnya, adalah hal yang wajar bagi para masyarakat untuk mencairkan simpanannya atau mencari pinjaman untuk “uang pelicin” agar si pencari kerja dapat diterima, dan kondisi ini diketahui dengan baik oleh sipencari kerja, jadi bukan hanya dikalangan orang tua tapi si anak sudah mengetahui bagaimana caranya dia untuk bisa masuk kerja. Coba bayangkan jika hal tersbut juga diketahui oleh adik si pencari kerja yang masih sekolah, tentu dalam benaknya akan tersirat bahwa yang penting adalah lulus sekolah dan kualitas merupakan masalah lain, sebab untuk bekerja yang diperlukan bukan kualitas, tetapi seberapa besar dimiliki “uang pelicin”,
Bagi para mahasiswa/I, secara tidak langsung para pengajar (dosen) juga telah mengajarkan budaya “instan”, lihat saja berapa gelintir para mahasiswa yang mempelajari suatu matakuliah dari text book, umumnya sumber pelajaran adalah diktat yang berisi ringkasan-ringkasan dari teori yang dipelajari, hal ini disukai mahasiswa karena singkat dan padat, tetapi mereka akan kehilangan dasar filosofis dari terbentuknya teori tersebut. Bandingkan alternatif yang diberikan, bila menggunakan text book harus membaca sedikitnya 250 halaman dan belum tentu cukup 1 text book, sementara dengan diktat cukup 1 diktat dan paling banyak Cuma 50 halaman.
Budaya instan sesungguhnya telah merasuk hampir kepada seluruh sisi kehidupan msyarakat, tidak terkecuali para pengambil keputusan di negeri ini, sehingga logika sering kali ditinggalkan dan berharap segala masalah dapat selesai secara instan dengan bantuan kekuatan supra natural. Tentu masih segar dalam ingatan pembaca peristiwa yang lalu, dimana seorang menteri yang masih aktif hingga saat ini meminta dilakukan pengalian “harta karun” yang petunjuknya didasarkan pada ilham seseorang di dalam mimpi. Bukankah hal itu merupakan bukti tumbuh suburnya budaya jalan pintas ?
Jadi janganlah kita mempersalahkan para CALEG kita saat ini, apakah itu DPD, DPR dan DPRD bila kebanyakan dari mereka adalah job seeker yang mengharapkan mendapat pekerjaan bagus, posisi terhormat dan gaji tinggi sekalipun untuk mendapatkannya mereka mengatasnamakan masyarakat yang mereka belum pernah melakukan apapun secara signifikan terhadap kepentingan masyarakat tersebut. Dan tidak jarang si CALEG serta merta mendirikan NGO/LSM yang dimaksudkan untuk memperindah curiculum vitae ybs, sementara mendengar nama NGO/LSM dimaksud masyarakat belum pernah, tetapi telah diekspos hal-hal yang signifikan yang dilakukan NGO/LSM dimaksud, tentu dibawah kepemimpinan Caleg dimaksud. Nah, kembali lagi yang menjadi sasaran adalah mereka yang memiliki keterbatasan dalam menyaring informasi, sehingga pada masa sekarang mayarakat-masyarakat yang memiliki banyak keterbatasan tersebut akan dieksploitasi, sementara setelah mereka mendapatkan hasil eksploitasi tersebut masyarakat akan kembali kepada kondisinya semula, tanpa ada perubahan apapun.
Harapan
Akankah negeri ini melestarikan generasi instan dari generasi ke generasi ?, hanya kita yang dapat menjawabnya. Pemerintah tentu tidak dapat melarang media untuk “mencekoki” masyarakat dengan informasi-informasi yang menumbuhkan budaya “instan”, karena hal tersebut akan melanggar kebebasan pers. Pemerintah juga sulit untuk melarang lembaga-lembaga penyelenggara “gelar instan” untuk menghentikan prakteknya, karena pemerintah dapat diklaim menghambat proses pencerdasan bangsa, pemerintah juga tidak memiliki cukup dana dan tenaga untuk mengawasi segala aktivitas masyarakat yang mengarah ke gegiatan yang kontar produktif tersebut.
Yang paling efektif adalah jika masyarakat sendiri secara sadar dan bersama-sama melakukan penolakan terhadap kegiatan-kegiatan tersebut. Contohnya, jangan membeli media cetak yang isinya cerita-cerita isapan jempol dan iklan-iklan yang mendorong pola pikir “instan”, dan jangan membeli gelar murahan, atau memberikan “uang pelicin” untuk mendapatkan pekerjaan. Bukankah Pepatah rusia mengatakan “Ikan mati terbawa arus Ikan hidup Melawan Arus”.
Oleh : P. Erianto Hasibuan
Tulisan ini telah dimuat dalam harian Medan Bisnis pada tanggal 11 Juni 2004

1 komentar:

Anonim mengatakan...

mengapa harus dibuat repot kalo ada cara yang lebih mudah dan tidak menyalahi aturan,lagipula diktat kuliah dibuat kan untuk memudahkan belajar,karena nggak setiap orang mampu membaca seluruh buku,