Senin, 03 Desember 2007

Hati Nurani, Masihkah Ada?


Oleh P Erianto Hasibuan
Membaca judul di atas pasti sebagian besar pembaca akan mengamini, bahwa setiap manusia masih memiliki hati nurani. Persoalannya mungkin bukan sekadar keberadaannya, tetapi kemurnian dan kekuatannya untuk mempengaruhi. Seorang teman mengatakan kepada penulis, “Hati nurani selalu ada, hanya persoalannya masihkah kita terpengaruh olehnya, atau tidak”. Jika jawabannya adalah yang terakhir, maka hati nurani tidak akan menghasilkan perubahan apapun.Teman lain berkata, jika masih ingin melihat peran hati nurani dalam perilaku seseorang, pergilah ke tempat-tempat di mana banyak terdapat orang susah dan sederhana, mereka akan terlihat lebih peka dan cepat untuk menolong sesamanya. Mungkin karena mereka belum terlalu banyak belajar dan membaca, sehingga tidak banyak ambisi yang mereka kejar. Sementara, teman lainnya dengan sinyal setuju mengatakan, lihat saja di persimpangan jalan di mana banyak terdapat pengemis dan pengamen, siapa yang lebih banyak diserang oleh pengamen dan kaca mobil mana yang lebih banyak terbuka saat di traffic light? Apakah mobil-mobil mewah atau mobil-mobil kelas menengah dan sederhana? Lalu penulis menyela sambil bercanda, mungkin karena di mobil mewah udara begitu dingin dan harum, jadi kalau kaca dibuka untuk memberi sedekah atau saweran akan mengganggu kenyamanan. Selain itu, perda untuk tidak memberikan sedekah bagi pengemis di Kota Medan menjadi salah satu alasan logis. Rasa Kepekaan Nurani yang bekerja dengan baik, senantiasa terlihat dari perilaku dan tindakan seseorang. Jika kita hanya mengandalkan aturan sesuai norma, maka banyak hal yang tidak dapat diatur oleh aturan secara tertulis, apalagi secara hukum mengikat. Hal yang tidak diatur bukan berarti kita dapat melakukan dengan sesuka kita. Utamanya, dengan mengandalkan kemampuan kita yang mengetahui loop hole dari berbagai ketentuan hukum, sampai kapanpun tidak akan pernah sempurna.Lihat saja kasus gugatan masyarakat korban lumpur Lapindo yang ditolak seluruhnya oleh majelis hakim tanggal 27 November 2007. Pertimbangan hakim hanya berdasarkan pada upaya optimal dari pemerintah dalam penanganan korban Lumpur Panas Lapindo Brantas Inc. Alasannya, karena sejauh ini Lapindo Brantas Inc telah mengeluarkan uang hampir 1 (satu) triliun rupiah untuk penanggulangan lumpur panas. Pemerintah juga telah mengeluarkan berbagai kebijakan berkaitan dengan luapan lumpur panas Lapindo. Di antaranya Peraturan Presiden No 14 Tahun 2007 tentang Pembentukan BPLS, pembentukan Timnas Penanggulangan Lumpur Sidoarjo, perpres yang mengatur jual beli antara korban hingga tanggal 22 Maret 2007 dengan pihak PT Lapindo Brantas. Penulis tidak dapat menanggapi secara hukum, karena itu bukan keahlian penulis. Tetapi, dari aspek rasa keadilan yang kasat mata, mungkinkah masyarakat sebagai korban akan dikalahkan dan dianggap telah cukup dengan alasan normatif di atas? Kasus Adelin Lis, andai memang dalam pengajuan berkasnya belum lengkap, tidakkah hakim dapat mengingatkan jaksa untuk melengkapi? Atau malah merupakan kesempatan emas bagi para hakim untuk mengambil keuntungan dari kealpaan jaksa (atau kealpaan yang disengaja?). Tidakkah para hakim menyadari dampak dari penebangan hutan secara liar sudah membawa korban secara nyata? Akankah logika untung ruginya tidak dapat dipengaruhi oleh nuraninya?Lihat lagi dua hari terakhir ini (tanggal 28 dan 29 Nov 2007), salah satu harian lokal di Medan yang cukup ternama, dengan ringan tanpa beban telah membuat karikaturnya manusia akar, yang digambarkan sedang dikejar-kejar hendak dipotong oleh gergaji kayu. Andai tidak peka untuk meringankan beban si Dede (38) mengapa harus mengeksploitasi dan menjadikan sebagai lelucon penderitaan orang lain? Bukankah sebagai orang media, mereka telah membaca bagaimana menteri kesehatan RI berang akibat pengambilan sample darah yang tidak sesuai dengan ketentuan undang-undang dan eksploitasi foto yang bersangkutan oleh media asing. Ini juga adalah masalah hati nurani, secara hukum dan apapun namanya, memang si pembuat karikatur tersebut boleh dikata tidak bersalah, tetapi apakah hanya karena daya kreativitasnya lagi “mandul” dia menggunakan penderitaan orang lain sebagai jalan pintas? Mungkin, benar juga dugaan awal tadi bahwa semua orang masih memiliki nurani. Hanya persoalannya apakah nurani tersebut masih dapat mempengaruhi tuannya agar lebih peka terhadap sesama dan lingkungan atau tidak. Jika tidak, marilah kita lebih banyak mengasah diri untuk lebih peka, hingga kita tidak hanya bangga pada saat kita tidak melanggar hukum, tetapi bangga pada saat kita dapat menolong sesama sekalipun hukum dan ketentuan tidak mengaturnya.
Penulis adalah pemerhati masalah sosial dan bermukim di Medan
Tulisan ini dimuat pada Harian Medan Bisnis Sabtu, 01-12-2007

Tidak ada komentar: