Kamis, 04 Desember 2008

Pemaknaan sebagai sumber motivasi

Oleh : P. Erianto Hasibuan

Siapa yang memiliki suatu alasan (why) untuk hidup akan sanggup mengatasi persoalan hidup dengan cara (how) apa pun. Nietzsche

Nama Nietzsche bukanlah nama yang akrab ditelinga kita, tetapi nama David Clarence McClelland (191727 Maret 1998) tentu nama yang tidak asing bagi mereka yang bergelut dibidang manajemen , nama tokoh peraih Ph.D dalam bidang psikologi eksperimental pada Universitas Yale tahun 1941, cukup dikenal berkat bukunya The achieving society (1961). Tetapi kita mengenal nama McClelland lebih karena penggunaan soft competence yang mengacu pada apa yang diformulasikannya. McClelland merumuskan bahwa motivasi manusia dibagi kedalam tiga kebutuhan utama, yaitu: Kebutuhan untuk berprestasi (Need for achievement/n-Ach), Kebutuhan untuk berkuasa (Need for power/n-Pow) dan Kebutuhan untuk berafiliasi (Need for affiliation /n-Aff). Pokok penting dari masing-masing kebutuhan berbeda untuk tiap-tiap individu dan juga tergantung pada latar belakang kultur masing-masing individu. Ia juga menyatakan bahwa motivasi yang kempleks ini adalah suatu faktor penting didalam perubahan sosial dan evolusi didalam kemasyarakatan. Peninggalannya juga termasuk sistim skoring yang dikembangkan bersamaan untuk Thematic Apperception Test (TAT) yang dikembangkan oleh Murray and Morgan (1935). TAT tersebut digunakan untuk menilai personaliti dan meneliti motivasi seseorang. Inilah yang banyak kita gunakan utamanya dalam penilaian soft competence. Masih ingat dengan wawancara yang dimaksudkan untuk menggali seberapa besar kita memiliki n-Ach, n-Aff dan n-Pow?, bahkan setiap tahun kita akan mengulangi hal yang sama bila kita tidak cukup tertib mengamati prilaku pegawai yang menjadi tanggung jawab kita untuk menilainya. Jika keduanya tidak dilakukan, maka soft competence, hanya tebakan belaka yang tidak menggambarkan kompetensi sesungguhnya dari pegawai yang dinilai. Pada saatnya bukan tidak mungkin tools yang kita peroleh dengan pengorbanan yang cukup besar hanya akan menjadi hafalan tanpa makna dalam kinerja keseharian.
Seberapa pentingkah pemaknaan tersebut ? Victor E. Frankl menolong kita untuk memahaminya melalui teorinya yang disebut dengan logoterapi yang mengakui adanya dimensi spiritual dan memanfaatkannya untuk mengembangkan hidup bermakna (therapy through meaning). Dari asal katanya, logoterapi berasal dari kata “logos” (bhs Yunani : λογος) yang berarti ‘meaning’ (makna) dan ‘spirituality’ (kerohanian). Logoterapi digolongkan pada Existential Psychiatry dan Humanistic Psychology.
Victor E. Frankl berpendapat bahwa kebutuhan manusia yang lebih mendasar adalah kebutuhan untuk hidup bermakna atau berarti. Keinginan untuk mempunyai makna merupakan salah satu kekuatan motivasi yang ada dalam diri manusia bahkan lebih mendasar daripada “prinsip kesenangan” (pleasure principle) dari Freud atau “keinginan untuk berkuasa” dari Adler. Menurut Frankl, seseorang akan menjadi sakit apabila dia tidak lagi mempertanyakan keberadaannya. Hal ini terjadi karena dia tidak dapat lagi berfungsi sebagaimana mestinya atau istilah Frankl manusia itu sedang berada di dalam “kekosongan eksistensial”
Ajaran Logoterapi
Logoterapi berpandangan bahwa “makna hidup” (the meaning of life) dan “hasrat untuk hidup bermakna” (the will to meaning) merupakan motif azasi manusia yang dapat dilihat dalam dimensi spiritual atau “noetic”. Jadi, Frankl berpendapat bahwa ada dimensi lain selain dimensi somatik dan psikis, yaitu dimensi spiritual. Tampaknya Frankl tidak memisahkan antara fisik, psikis dan spiritual seorang manusia dan menganggapnya merupakan satu kesatuan yang utuh. Konflik dasar spiritual yang muncul dari dalam diri seseorang dapat terjadi sebagai akibat ketidakmampuannya untuk muncul secara spiritual mengatasi kondisi fisik dan psikisnya. Konflik ini tidak berakar pada kerumitan psikologis, akan tetapi terpusat pada hal spiritual dan etis. Apabila terdapat satu konflik spiritual dapat menyebabkan gangguan psikologis (neurosis) yang disebut Frankl sebagai “noogenic neurosis”. Terapi ini bertujuan untuk memenuhi dorongan spiritual yang dibawa oleh manusia sejak lahir dengan mengeksplorasi makna keberadaan manusia.
Darimana manusia memperoleh makna hidup?, menurut Frankl makna hidup bersumber dari :
1. Nilai-nilai kreatif (creatif values), yaitu : berkarya, bekerja, mencipta, dan melaksanakan satu kegiatan dengan baik karena mencintai kegiatan itu.
2. Nilai-nilai penghayatan (experiental values), yaitu : meyakini dan menghayati kebenaran, keyakinan, keindahan, cinta kasih, dan keimanan.
3. Nilai-nilai bersikap (attitudinal values), yaitu : mengambil sikap tepat atas pengalaman tragis yang tak terhindarkan.
Apabila seseorang tidak lagi dapat menemukan makna hidup dari kreativitas atau kegiatan yang dilakukan (creatif values) dan pengalaman hidup tidak lagi memberi makna (experiental values), Frankl berpendapat bahwa seseorang masih dapat menemukan makna hidup dengan cara “mengatasi penderitaannya” (attitudinal values). “Attitudinal values” inilah yang merupakan ajaran mendasar dari Frankl dalam logoterapi, yaitu melihat makna positif dari satu penderitaan.
Aplikasi
Frankl seolah menyentakkan kita yang biasa bekerja dengan rutinitas tinggi, utamanya bila kita bekerja berdasarkan kebiasaan yang diwariskan oleh pendahulu kita, hingga tidak jarang terdengar jawaban “dari dulu juga begini !”, bagaimana mungkin kita memberi makna atas suatu pekerjaan yang kita tidak pahami dengan baik mengapa kita melakukan pekerjaan tersebut. Kondisi ini dipahami dengan baik oleh Nietzsche, hingga ia memberi komentar yang singkat namun sarat makna menyangkut teori logo terapi Frankl : Siapa yang memiliki suatu alasan (why) untuk hidup akan sanggup mengatasi persoalan hidup dengan cara (how) apa pun.
Teori Motivasi McClelland ditujukan untuk mengukur soft competence yang dimiliki seseorang untuk dapat sukses, kesuksesan dicapai melalui Nilai-nilai kreatif (creatif values) yang menjadi sumber makna hidup menurut Frank. Dengan demikian organisasi akan sukses bila setiap personil didalam perusahaan berhasil menumbuhkan rasa kecintaan terhadap pekerjaannnya. Menumbuhkan rasa kecintaan adalah pemberian makna dalam bekerja, tanggung jawab ini tidak dapat diserahkan kepada pihak luar atau lembaga lain, tetapi menjadi tanggung jawab setiap mereka yang diserahi tanggung jawab untuk memimpin secara langsung. Tanggung jawab atasan yang lebih tinggi adalah menyediakan sarana penunjang dalam pelaksanaan tersebut. Dengan demikian slogan “jangan berbuat salah” bukan lagi menjadi kemutlakan, tetapi mengapa salah dan bagaimana untuk tidak lagi salah menjadi penting sebagai suatu proses dalam menumbuhkan Nilai-nilai kreatif, tanpa bermaksud membenarkan kesalahan untuk maksud-masksud kepentingan pribadi atau kelompok.
SMK tahun 2008 akan dikorelasikan dengan pemberian jasa produksi (JP), kinerja kadang menjadi “segalanya” mengingat proporsi yang linear dengan tingkat manajerial, sementara pada level non manajerial kompetensi masih memiliki nilai yang signifikan. Kompetensi seyogiaya proporsional dengan kinerja, tetapi kompetensi tanpa makna tidak akan berkorelasi positif secara signifikan. Lalu akankah kegagalan pemberian makna oleh atasan menjadi beban bawahan ? Semoga tidak.
Simpulan
Kerap kita mendengar, seseorang yang taat beragama malah melakukan tindakan tak terpuji, ibadah dilakukan dengan rutin, doa dipanjatkan dengan tekun, tetapi mengapa ia harus mengakhiri hidupnya sendiri ? Inilah hidup tanpa makna menurut Frankl. Dosen saya memberi komentar dengan mengatakan : Victor E. Frankl memusatkan perhatian pada pemberian makna kehidupan yang baik di dalam melihat dan memilih berbagai alternatif kehidupan yang penuh konflik. Pilihan kehidupan yang menuai konflik dapat dibuat bermakna dengan merubah cara berpikir di dalam melihat sebuah fenomena. (Prof. Drs Djamaludin Ancok, Ph.D. Guru Besar Psikologi Sosial Universitas Gadjah Mada)-(hasjuli08)

Bacaan :
Frankl, Victor. E, Man’s Search for Meaning: An Introduction to Logotherapy : An Introduction to, Logotherapy, Washington Square Press, New York, 1963.
Gibson, James L. Organizations : behavior, structure, processes, 9thed. Richard D. Irwin, 1997.
McClelland, D. C. The achieving society. Princeton: Van Nostrand, 1961.
McClelland, D.C., Atkinson, J.W., Clark, R.A., & Lowell, E.L. The achievement motive. Princeton: Van Nostrand, 1953.
Murray, H.A. Explorations in personality, Oxford University Press, New York 1938.
Suryabrata, Sumadi, Psikologi Kepribadian, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1998

2 komentar:

Anonim mengatakan...

'the will to power' dr nietzche itulah pegangan hidup yg sedang sy kembangkan. hidup terlalu kejam untuk org2 lemah! salam sukses.

Anonim mengatakan...

salam kenal.. saya sedang menyelesaikan tugas akhir saya memakai teori frankl. saya butuh bantuan anda.. dalam menganalisis motivasi seseorang menjadi prostitute dan apa makna prostitute bagi seseorang itu. disini apakah menurut frankl kebermaknaan itu selalu hal yg seturut dgn nilai2 yang baik di masyarakat? sedangkan dalam kasus saya, prostitute ini bermakna buat si pelaku itu :)
terima kasih,,,