Senin, 17 November 2008

Penjaminan Simpanan sebuah Langkah Mundur ?

Oleh : P. Erianto Hasibuan

Masih segar dalam ingatan kita pada era tahun 1998 hingga medio 2006, dimana pemerintah menerapkan kebijakan blanket guarantee, konon satu-satunya di alam raya ini yang menerapkan kebijakan tersebut. Hal ini kemudian disinyalir menjadikan moral hazard bagi para bankir, karena mereka tidak lagi memikirkan untuk memitigasi risiko, karena hanya dengan menghimpun dana dari pihak ketiga kemudian menempatkannya kembali ke dalam SBI. Bagi Bank yang memiliki kelompok usaha, dana yang dihimpun selanjutnya disalurkan ke kelompok bisnisnya sendiri, sekalipun mereka melanggar BMPK (Legal Lending Limit) tapi mereka tidak pernah pusing karena toh nantinya bisa cincai dengan regulator dan auditor. Belum lama berselang kalangan perbankan kembali ke kitah untuk mengelola portfolionya risikonya dengan cermat dan nasabah memilih banknya dengan tidak hanya mengandalkan pricing berupa suku bunga dan berbagai daya tarik lain, tetapi harus mencermati keamanan bank yang akan dipilihnya. Saat ini dengan argumentasi krisis global pemerintah mengembalikan kebijakan penjaminan hingga mencapai Rp. 2 M. Bahkan sudah terdengar suara-suara dari berbagai kalangan utamanya pemilik dana dengan argumentasi terjadinya capital flight dan negara lain juga akan menerapkan Blanket Guarantee.

Kerakusan
Tanpa bermaksud untuk mengkaji penyebab Krisis keuangan global yang terjadi saat ini, penulis melihat awal krisis ini adalah kerakusan para pelaku pasar keuangan. Bagaimana tidak, mereka adalah orang-orang yang hidup diperkotaan dengan gaya hidup jet set dan mega modern, yang setia membaca majalah-majalah yang mempertontonkan kekayaan dan kesuksesan seseorang atau satu kelompok yang semuanya hanya dihitung dari seberapa besar mereka mampu mengisi pundi-pundi mereka.
Bacaan yang mereka konsumsi sehari-hari lambat laun menjadi way of life mereka, bahkan menjadi way of life bagi para juniornya, sehingga mereka yang masih sekolah tidak lagi tertarik untuk mendalami ilmu-ilmu murni atau jika pun mereka terlanjur mendalami ilmu eksakta, tetapi pada akhirnya mereka bekerja dibidang finansial yang tak berhubugngan sedikitpun dengan ilmu yang mereka pelajari pada saat kuliah.
Mengapa demikian ? karena jika mereka tetap menggeluti ilmu yang mereka pelajari semisalnya pertanian, maka mereka hanya akan menjadi petani atau juragannya petani. Adakah karena petani harus bekerja dengan bergumul lumpur sehingga mereka enggan untuk itu dan memilih dikantoran yang adem di ruangan ber AC boleh jadi yah, tapi sepertinya lebih dari itu. Jika jadi petani atau juragannya petani sekalipun, keuntunggan atau penghasilan yang diperoleh akan sanngat tergantung pada hasil panen. Hasil panen sudah sangat terukur, dan alam sebagai bahan dasar untuk menanam sudah dapat diprediksi perhektar akan menghasilkan berapa, dengan pupuk dan benih seperti apapun dan bila berusaha menentang sifat alam, maka yang terjadi adalah benih Supertoi yang berubah menjadi super loyo. Bila gagal dapat dihitung kerugaian nya berupa gagal panen. Tidak demikian halnya dengan sektor finansial, tanpa ada peningkatan produksi sekalipun tetapi hanya dengan sebuah isue entah itu benar atau tidak (namanya juga isue) harga dapat berfluktuasi secara signifikan, dalam pergerakan tersebut akan ada pihak yang sangat diuntungkan (bisa jadi kaya mendadak) dan ada pihak yang buntung. Ketergiuran ini yang menjadi rangsangan para pihak untuk ke arah sana, dalam hitungan minggu bahkan hari zero sum game tersebut dengan pasti akan memperkaya para pialang (beroker) karena apapun situasinya yang pasti mereka akan selalu untung.
Margin konvensional lambat laun tidak lagi diminati, para broker dan penyedia jasa keuangan juga semakin kreatif untuk menawarkan model investasi dengan margin yang cukup, bahkan sangat tinggi, tentu dengan propaganda penawaran bahwa risikonya terkendali. Mereka melupakan atau sengaja melupakan bahwa didalam margin yang tinggi akan terkandung risiko yang tinggi (high risk high return). Sehingga pada saatnya hukum dasar tersebut terjadi dimana mereka harus menanggung risikonya, maka pemerintah diminta untuk menanggulangi yang dikenal dengan program restrukturisasi atau baill out yang keseluruhannya pasti berdasarkan dana pemerintah yang berasal dari pajak yang artinya uang publik juga.
Demikian halnya dengan perbankan, walaupun secara makro benar bahwa penjaminan akan memberikan rasa aman bagi para pemilik dana untuk tetap mempertahankan dananya di perbankan nasional, tetapi pada sisi lain mereka yang termasuk golongan “petani bunga” akan dengan leluasa melakukan hobbbinya sebagai petani bunga dengan mencari bank yg berani membayar paling tinggi tanpa peduli tingkat kesehatan bank ybs. Lalu apakah hal ini bukan berarti kemunduran dan “pembodohan” ?
Penjaminan sebesar Rp. 2 M saat ini, sedikit banyak telah mempengaruhi masyarakat. Ada benarnya pendapat para pengamat politik, bahwa bangsa ini adalah bangsa pemaaf dan sekaligus pelupa, lihat saja keberadaan seorang pemimpin atau partai politik yang belum lama dihujat habis dan dianggap sebagai biang kehancuran bangsa, tetapi pada saat masa kampanye dimana pemimpin atau parpol tersebut dapat melakukan propaganda utamanya melalui iklan dan sedikit bagi-bagi kebutuhan pokok atau yang sejenisnya bahkan uang, mereka akan memaafkan sekaligus melupakan peristiwa tersebut dan masih tetap memilih pemimpin atau partai itu. Demikian halnya dengan perbankan, sekalipun kejadian kehancuran perbankan dengan dilikuidasinya beberapa perbankan yang membuat masyarakat harus mengantri bahkan kehilangan bunga yang seharusnya diterima dari bank tersebut sebagai akibat dari ketidak mampuan bank itu memenuhi kewajibannya dan akhirnya dilikuidasi. Peristiwa itu tidak membuat masyarakat lebih arif dalam memilih bank, mereka hanya berfikir toh pemerintah menjamin jadi di bank mana pun ditempatkan dananya sama saja yang penting bank mana yang berani kasih bunga tinggi dan bonus menarik. Bukankah kondisi ini akan mengakibatkan naiknya cost of funds di kalangan perbankan? Tidak peduli bank yang sehat maupun yang “ngap-ngapan” akan mengalami hal yang hampir sama, pada akhirnya tinngkat bunga pinjaman akan meningkat, yang berdampak pada pelambatan di sektor riil, sementara disisi lain para pemilik dana akan meninkmati tambahan penerimaan akibat peningkatan tingkat suku bunga. Haruskah kita terus memberi kehidupan yang lebih pada “petani bunga” dengan mempersulit pergerakan pada sektor riil, yang memberikehidupan yang serba “pas-pasan” kepada para pekerja/buruh ?

Harapan
Pemerintah (Inc. BI) selayaknya dapat berhitung lebih cermat lagi, dan tidak hanya latah-latahan mengikuti langkah yang dilakukan oleh pemerintah negara lain. Kasus Krisis Global yang begitu dasyat bagi negara-negara eropah dan USA, boleh jadi membutuhkan keputusan dilakukannya penjaminan, sekalipun penulis tidak yakin akan melakukan blanket guarantee. Tetapi Indonesia hanya negara yang terimbas, sehingga perlu dihitung dengan cermat pada beberapa skenario, berapa besar sesungguhnya dana yang akan pindah ke LN bila penjaminan tidak diterapkan, apakah cadangan devisa negara masih sanggup mengcovernya ?. Sudah hal umum diketahui, bahwa margin pada sektor riil akan lebih sustain dan menguntungkan dibandingkan dengan hanya menempatkan dana di perbankan. Pemerintah harus tetap mendorong perkembangan disektor riil dengan tidak terpengaruh dalam menaikkan suku bunga acuan, agar sektor perbankan tetap dapat mengucurkan kredit pada tingkat suku bunga yang masih dapat diserap oleh sektor riil. Dengan bergulirnya sektor riil, maka para pemilik dana pada akhirnya akan lebih tertarik untuk menempatkan dananya di sektor riil baik secara langsung maupun melalui media pasar modal dengan margin yang lebih menjanjikan dan prospek yang memadai.
Pencabutan Blanket guarantee secara bertahap yang dilakukan pemerintah sesungguhnya adalah langkah maju dan cerdas yang dilakukan BI (pada era Burhanudin Abdullah) yang semula juga banyak dikawatirkan berbagai pihak akan terjadinya capital fligh, tetapi pada kenyataannya hanya isapan jempol belaka. Lalu mengapa saat ini pemerintah dan BI tidak menggunakan pengalaman masa lalu untuk tetap pada pendiriannya ? Pemberian penjaminan hingga Rp. 2 M saja sudah merupakan langkah mundur, konon lagi dengan Blanket guarantee ? hasnov08

Tidak ada komentar: